Makalah FILSAFAT ISLAM “AR-RAZI & AL-FARABI”

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam kanca pemikiran Islam lewat terjemahan, diakui oleh banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam semakin pesat. Namun demikian, sepeerti yang dikatakan oleh Oliver Leaman,[1] adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat, Aristoteles (384-322 SM) seperti tuduhan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti tuduhan Duhem.[2]

Transmisi filsafat Yunani ke Arab merupakan suatu proses kompleks di mana banyak dipengaruh oleh interprestasi-interprestasi yang diberikan melalui suatu tradisi skolastik sebelumnya, dan terkadang dalam istilah–istilah yang sudah digunakan secara teknis dalam disiplin baru yang berkaitan dengan bahasa Arab atau Islam. Faktanya sebelum di kenal adanya logika dan filsafat Yunani telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologis dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam.[3]

Pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim. pemikiran rasional-filosofis Islam lahir bukan dari pihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur’an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menyesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari.

Para filosof muslim secara umum hidup dalam lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan filosof lainnya, sehingga adalah suatu kesalahan jika mengabaikan pengaruh kondisi ini dalam pemikiran dan teori mereka. Sebut saja Al-Razi dan Al-Farabi dua orang filosof muslim yang sangat berpengaruh daalam filsafat Islam. Mereka banyak menuangkan karya-karya di dalam buku filsafat di dunia Islam. Adapun, dalam makalah ini penulis mencoba membahas mengenai kedua filosof tersebut.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana riwayat hidup Al-Razi dan apa saja karya-karyanya?
  2. Bagaimana pemikiran Al-Razi di dunia filsafat ?
  3. Bagaimana riwayat hidup Al-Farabi dan apa saja karya-karyanya ?
  4. Bagaimana pemikiran Al-Farabi di dunia filsafat ?

C. Tujuan Penulisan

  1. Mengetahui riwayat hidup Al-Razi dan apa saja karya-karyanya ?
  2. Mengetahui pemikiran Al-Razi di dunia filsafat ?
  3. Mengetahui riwayat hidup Al-Farabi dan apa saja karya-karyanya ?
  4. Mengetahui pemikiran Al-Farabi di dunia filsafat ?

Selengkapnya…

BAB II

PEMBAHASAN

A. Al-Razi

  1. Riwayat Singkat

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi. Di barat dikenal Rhazes. Ia lahir di Ray dekat Teheran pada 1 Sya’ban 251 H (865 M). Ia hidup pada pemerintahan Dinasti Saman (240-395 H). Pada masa mudanya, ia menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai pemusik kecapi. Di kota Ray ia belajar kedokteran kepada Ali ibn Rabban al-Thabari (192-240 H/ 808-855 M), belajar filsafat kepada Al- Balkhi, seorang yang senang mengembara, memguasai filsafat, dan ilmu-ilmu kuno. Ia juga belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia.[4]

Pada masa Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad Asad sebagai Gubernur Ray, al-Razi diserahi kepercayaan memimpin rumah sakit selama enam tahun  (290-296 H/902-908 M). Pada masa itu juga al-Razi menulis buku al-Thibb al-Mansuri yang dipersembahkan kepada Mansyur ibn Ishaq ibn Ahmad. Di Dunia Timur ia di juluki The Arabic Galen. Ia meninggal pada 5 Sya’ban 313 H (27 Oktober 925 M) setelah menderita sakit katarak yang ia tolak untuk diobati dengan pertimbangan, sudah cukup banyak dunia yang ia pernah dilihatnya, dan tidak ingin melihatnya.[5]

 

  1. Karya-karyanya

Karya al-Razi diperkirakan mencapai 200 judul dalam berbagai bidang keilmuan, tetapi banyak karya tersebut yang hilang. Adapun karya diantatanya sebagai berikut:

  1. Kitab al-Asrar, (Bidang Kimia)
  2. Al-Hawi, (Ensiklopedia Kedokteran)
  3. Al-Mansuri Liber al-Mansoris, (Bidang Kedoketeran)
  4. Kitab al-Judar wa al-Hasbah (Analisa Penyakit Cacar Dan Campak)
  5. Al-Thibb al-Ruhani
  6. Al-Sirah al-Falsafiyyah
  7. Amarah al-Iqbal al-Dawlah
  8. Kitab al-Ladzdzah
  9. Kitab al-‘Ilm al-Ilahi
  10. Maqalah fi ma ba’d al-Thabi’iyyah dan
  11. Al-Shukuk ‘ala Proclus.[6]

 

  1. Filsafatnya
  • Tentang akal dan Agama

Al-Razi mengemukakan bahwa Tuhan memberi manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal, manusia bisa mengetahui yang bermanfaat dan memperbaiki hidup. Dengan akal dapat mengetahui hal-hal yang tersebunyi dan hal-hal yang akan terjadi, dan dengan akal dapat mengenal Tuhan. Akal dapat menghakimi segalanya dan tidak boleh dihakimi oleh yang lainnya.[7]

Al-Razi mengingkari wahyu dan kenabian, bahkan dikatakan sebagi sumber kekacauan bagi manusia, karena membawa ajaran yang berlainan; ajaran agama dapat menimbulkan perasaan benci membenci, bahkan saling bermusuhan diantara penganut agama.[8]

Al-Razi mengatakan bahwa orang yang tunduk kepada agama karena tradisi kekuasaan yang ada pada pemuka-pemuka agama dan tertarik kepada upacara-upacara yang mempengaruhi jiwa orang-orang yang sederhana dalam pemikiran. Al-razi secara sistematik mengkririk kitab-kitab suci, terutama al-Qur’an. Ia lebih mengutamakan buku-buku filsafat dari pada buku-buku agama.

 

  • Tentang Hubungan Manusia dengan Tuhan (Etika)

Dikatakan bahwa kesenangan manusia sebenarnya terletak pada kembalinya manusia kepada Tuhan setelah meninggalkan alam materi ini. Cara muda untuk meninggalkan alam materi adalah dengan lebih dahulu mensucikan roh dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Sedangkan untuk mensucikan roh adalah dengan pengetahuan (dalam hal filsafat).

 

  • Tentang Roh dan Materi

Tuhan menciptakan alam ini bukan dalam arti creatio ex nihilo (dicipttakan dari bahan yang belum ada), melainkan diciptakan dan disusun dari bahan-bahan materi (kekal) yang telah ada. Dikatakannya bahwa pada mulanya, Tuhan tidak berniat membuat alam ini, tetapi karena pada suatu hari roh tertarik pada materi pertama dan bermain-main dengannya.

Kemudian materi pertama tersebut memberontak dan Tuhan menolong roh tadi dan membentuk alam dalam susunan yang kuat, sehingga roh dapat mencari kesenangan (sementara) di dalam alam materi ini. Kemudian roh lupa pada asalnya, bahwa kesenangan yang sebernarnya bukan terletak pada alam materi, tetapi malah sebaliknya yakni dengan cara melepaskan diri dari alam materi.

Oleh karena itu, Tuhan mewujudkan akal yang berasal dari zat Tuhan, yang tugasnya untuk menyadarkan manusia yang telah terpedaya oleh kesenangan materi. Roh akan tetap tinggal di alam materi ini, selam ia tidak dapat mensucikan diri. Cara mensucikan diri seperti yang sudah dijelaskan yakni dengan pengetahuan dalam hal filsafat. Jika seluruh roh sudah bersih, seluruhnya akan kembali ke asalnya, dan pada waktu itu alam materi pertama kembali keasalnya. Alam ini terbatas dan hanya satu, di luarnya ada Tuhan.[9]

 

  • Tentang Lima Kekal

Bagi al-Razi, ada lima kekal yang mendahului segalanya:

  1. Allah Ta’ala (Pencipta Yang Maha Bijaksana Lagi Maha Tahu)
  2. Jiwa Universal (Roh)
  3. Materi Pertama (Apa Yang Ditangkap Dengan Panca Indra)
  4. Ruang Absolut (Materi Mengambil Tempat)
  5. Zaman/Masa Absolut (Materi yang Berubah-ubah Keadaannya)

Menurut al-Razi dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan Roh/Jiwa Universal. Satu dari padanya tidak hidup dan pasif yaitu materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, nyakni ruang dan massa.[10]

Allah adalah maha pencipta dan pengatur seluruh alam. Alam diciptakan Allah bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Oleh karenanya, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi pertama tidak kekal, sebab penciptaan tersebut dalam arti disusun dari bahan yang telah ada.

Jiwa Universal merupakan al-mabda’ al-qadim al-sany (sumber kekal yang kedua). Pada benda-benda alam terdapat gaya hidup dan gerak–sulit diketahui karena—tanpa bentuk yang berasal dari Jiwa Universal yang juga bersifat kekal. Tetapi karena ia dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayula al-ula (materi pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat meneri fisik. Sedangkan materi pertama tanpa fisik, maka Tuhan datang menolong roh dengan menciptakan alam semesta termasuk alam semesta termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mengambil bagian kesenangan-kesenangan materil untuk sementara waktu.

Namun begitu, Tuhan menciptakan akal, dan merupakan limpahan dari Tuhan. Tujuan penciptaannya untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, baha tubuh itu bukanlah bukan tempat yang sebenarnya, bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi. Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan jalan berfilsafat.[11] Jiwa yang tidak dapat mensucikan dirinya dengan filsafat, ia akan tetap tinggal atau berkelana dialam materi. Tetapi, apabila ia sudah bersih ia dapat kembali ke asalnya, maka di kala itu alam itu hancur dan jiwa serta materi kembali kepada keadaanya  semula.

Materi pertama menurut al-Razi adalah substansi yang kekal yang terdiri dari atom-atom. Setiap atom-atom mempunyai volume. Tanpa volume pengumpulan atom-atom itu tidak bisa menjadi sesuatu yang terbentuk. Bila dunia dihancurkan, maka ia juga terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Materi itu kekal karena tidak mungking menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadan. Materi yang pada sekali menjadi substansi bumi, yang lebih renggang daripada unsur bumi menjadi unsur air, yang lebih renggang lagi dari udara, dan yang terenggan api.[12]

Jika meteri kekal mengharuskan ruang kekal, karena materi memerlukan ruang sebagai tempat yang sesuai untuknya. Ruang dipahami oleh al-Razi sebagai konsep yang abstrak, yang berbeda dengan Aristoteles yang mengatakan “tempat” (tonos) tidak bisa dipisahkan secara logis dari tubuh yang menempatinya.

Oleh sebab itu, ruang menurut al-Razi dapat dibedakan menjadi dua macam: ruang partikular atau relatif, dan ruang universal atau mutlak. Ruang partikular ini akan terbatas dengan terbatasnya wujud, berubah dan lenyap sesuai dengan keadaan wujud yang ada di dalamnya. Ini terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya, tidak akan ada tanpa adanya wujud karena tidak bisa dipahami secara terpisah dengan wujud. Sedangkan ruang universal, tidak tidak terika dengan wujud dan tidak terbatas. Bagi al-Razi, bisa saja berisi wujud atau yang bukan wujud, karena adanya kehampaan bisa saja terjadi.

Adapun waktu, menurut al-Razi adalah substansi yang mengalir (jauhar yajri) dan bersifat kekal. Al-Razi membagi waktu kepada dua begian, yaitu waktu mutlak (al-dahr) dan waktu relatif (al-mahsur atau al-waqt). Waktu mutlak adalah zaman yang tidak memiliki awal dan akhir serta bersifat universal, terlepas sama sekalidari ikatan alam semesta, dan gerakan falak. Kekekalan zaman ini merupakan konsekuensi dari kekekalan materi karena, materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka jika materi kekal, zaman mesti kekal pula.

Sedangkan waktu relatif bersifat partikular dan tidak kekal, serta terbatas karena ia terikat dengan gerakan falak, terbit, dan tenggelamnya matahari. Oleh sebab itu, jenis waktu ini disifati oleh angka, atau tegasnya bisa diukur, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun, dan seterusnya.

B. Al-Farabi

  1. Riwayat Singkat

Al-Farabi, nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh al-Farabi.[13] Lahir di Farab, provinsi Transosiana, Turkestan, tahun 257 H/870 M.[14] Tahun 922 M, al-farabi pindah ke Baghdad, untuk lebih mendalami filsafat. Ia belajar logika dan filsafat kepada Matta ibn Yunus (939 M) dan terutama ibn Hailan (932 M), tokoh filsafat aliran Aleksandria (aliran pemikiran Aristoteles)[15] yang sekaligus mengajak al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, al-Farabi mencurahkan dirinya dalam belajar, mengajara dan menulis filsafat. Ia menjaukan diri dari pertikaian politik serta konflik-konflik religius dan sekretarian yang menimpa Baghdad selama akhir periode ini.[16]

Pada tahun 942 M, ketika situasi politik Baghdad memburuk, al-Farbi pindah ke Damaskus yang di kuasai oleh dinasti Ikhsidiyah.[17] Namun, tidak lama di sana, ia segera pergi ke Mesir karena terjadi konflik politik di mana Aleppo dan Damaskus di duduki pasuka Hamdaniyah.[18]

Al-Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun di makamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota baguian selatan. Al-Farabi meninggalkan banyak karya tulis, yang secara garis besar bisa dikelompokkan dalam beberapa tema; logika, fisika, metafisika, politik, astrologi, musik, dan beberapa tulisan sanggahan terhadap pandangan filosof tertentu.[19]

 

  1. Karya-karyanya

Karya al-Farabi di bagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subjek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah leboh dahulu dari pada keberadaan agama, baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun sudut logika. Dikatakan “lebih dahulu” dari sudut pandang waktu karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas, bermulas sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Musa a.s. dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.[20]

Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Adapun karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika, dan politik.[21]

Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi (berhubungan) dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.[22] Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah:

  1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da At-Thabi’ah;
  2. Ihsana’ Al-Ulum;[23]
  3. Kitab Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah;
  4. Kitab Tahshil As-Sa’adah;
  5. ‘Uyun Al-Masa’il;
  6. Risalah fi Al-Aql;
  7. Kitab Al-Jami’ Ra’y Al-Hakimain: Al-Aflatun
  8. Risalah fi Masail Mutafariqah;
  9. At-Taqliqat;
  10. Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqat.[24]

 

  1. Pemikiran Tentang Metafisika

Metafisika menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
  2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi materiil, sifat dan bilangannya serta derajat dan keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar dari pada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaitu teologi.
  3. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.[25]

Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah mahkluk, diciptakan (hadis).

Hierarki wujud menurut al-Farabi, adalah sebagai berikut:[26]

  1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya;
  2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immateriil (tidak penting);
  3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial);
  4. Benda-benda bumi (teresterial)

Dengan filsafat emanasi, al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari meteri, Maha Sempurna, dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian, hakikat sifat Tuhan, terjadinya alam materi yang tidak banyak ini dari Yang Maha Satu. Emanasi (hasil pancaran) seperti ini merupakan solusinyan bagi al-Farabi.[27]

Proses emanasi adalah sebagai berikut, Tuhan sebagai akal berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini, timbul satu wujud (maujud) lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunya substansi yang disebut Akal Pertama (First Intellegent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbul wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wudul II atau Akal Pertama, juga berfikir tentang dirinya, dan dari situ timbul langit pertama dan seterusnya. Sampai pada pemikiran wujud IX/ Akal Kesepuluh ini berhenti dan terjadi timbulnya akal-akal selanjutnya. Akan tetapi, dari akal kesepuluh, muncullah bumi beserta roh-roh dan meteri pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air, dan tanah.[28] Sepuluh lingkaran geosentris (pusat pergerakan benda-benda langit) yang disusun oleh al-Farabi berdasarkan sistem Plotomeus.

Adapun tiga pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu:

  1. Segi esensi (zat) dan ekstensi (wujud) sesuatu;
  2. Pokok utama segala yang maujud;
  3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.

Dalam Fushus Al-Hikmah Al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya wujud, dan wujud menanyakan adanya sesuatu.[29] Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara meteri (zat) dan dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari, dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksa jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja, dan sebagainya.

Dengan cara berfikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalanm pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil[30]. Jadi, argumen itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi dikalangan umat Islam. Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.

  • Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reosonable) dan utam dalam bahasa (percakapan) sehari-hari, dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’aqqul).
  • Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identik dengan pikiran sehat. (common sense-indria bersama).
  • Akal budi oleh Aristoteles digambarkan dalam Analityca Posteriora sebagai kecakapan memahami prinsip-prisip primer demonstrasi, secara instingtif dan intuitif (penalaran rasional).
  • Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkin dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.
  • Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya, terutama dalam soal logika dan metafisika.
  • Meskipun demikian, tindakan kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak juga konstan (tidak berubah), ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi, harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecenderungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar darinya kerena beberapa rintangan atau yang lainnya.[31]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Al-Razi sebagai filsuf Islam yang mengkritik kitab-kitab suci, baik Injil maupun al-Qur’an. Ia mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lain. Ia menolak mu’jizat al-Qur’an, baik segi isi maupun gaya bahasanya. Menurutnya, orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik dengan gaya bahasa yang lebih indah. Dalam hal ini, boleh jadi pendapatnya yang ekstrim inilah menyebabkan buku-bukunya dimusnahkan. Kendatipun demikian, al-Razi bukanlah seorang atheis, karena ia tetap masih meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Sebab itu lebih tepat disebut seorang rasionalis murni. Dalam sejarahpun tetap mencatat al-Razi sebagai salah satu pemikir Islam dan disebut dokter Islam tanpa ada tandingannya. Adapun tentang pemikiran al-Razi tentang Lima Kekal, tidak otomatis ia menjadi zindik, apalagi bila dinilai dengan al-Qur’an tidak satu ayatpun yang secara qath’i bertentangan dengan pemikiran-pemekirannya tersebut.
  2. Al-Farabi sebagai filsuf Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh filsuf Islam lainnya. Gelar guru kedua terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun herus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan. Terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafisika, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi di antara filsuf-filsuf Islam.

 

 

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin. 1995. Falsafah Kalam Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Amien, Miska Muhammad. 1983. Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam. Jakarta: UI-Press.

Bakar, Osman. 1997. Hierarki Ilmu. Bandung: Mizan.

Bakker. 1986. Sejarah Filsafat Islam. Yogyakarta: Kanisius.

Dahlan. 1993. Suplemen Ensiklopedia Islam. Jakarta: Pustaka Grafiti.

Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Fakhry, Majid. 1986. Sejarah Filsafat Islam. terj. Mulyadi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya.

Leaman, Oliver. 1988. Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press.

Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Nurcholish Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Madkhour, Ibrahim. 1992.  Al-Farabi. Bandung: Mizan.

Mahdi, Muhsin. 1992. Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam. Bandung: Jurna al-Hikmah.

Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Sholeh, Khudori Sholeh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siddik, Abdullah. 1984. Islam dan Filsafat. Jakarta: Triputa Massa.

Sofyan, Ayi. 2010. Kapita Selekta Filsafat. Bandung: Pustaka Setia.

Supriyadi, Dedi. 2010. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Syarif. 1997. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Yazdi, Mehdi Hairi. 1994. Ilmu Hudhun Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan.

 Footnote

[1] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), Hal, 8.

[2] Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal, xv.

[3] Dahlan, Suplemen Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993). Hal, 24.

[4] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999). Hal, 24-25.

[5] Ibid.

[6] Ibid. Hal, 26.

[7] Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, (Jakarta: UI-Press, 1983). Hal, 23.

[8] Ibid. Hal, 25.

[9]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal, 74

[10]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999). Hal, 26-27.

[11] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Hal. 23.

[12] Ibid.

[13] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). Hal, 166.

[14] Ibid. Hal, 123.

[15] Muhsin Mahdi, Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam, (Bandung: Jurna al-Hikmah, 1992). Hal, 63-64.

[16] Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). Hal, 156-158.

[17] Ibid. Hal, 155.

[18]Osman Bakar, Hierarki Ilmu, (Bandung: Mizan, 1997). Hal, 36..

[19] Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1997). Hal, 58-61.

[20] Amin Abdullah, Falsafah Kalam Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995). Hal, 151.

[21] Ibrahin Madkhour, Al-Farabi (Bandung: Mizan, 1992), Hal, 59.

[22] Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhun Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 1994). Hal, 39.

[23] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984). Hal, 121-133.

[24] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986). Hal, 28.

[25] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986). Hal. 173.

[26] Ayi Sofyan, Kapita Selekta Filsafat, (Bandung: Pustaka Setia, 2010). Hal, 323.

[27] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). Hal, 26.

[28] Ibid. Hal, 28.

[29] Bakker, Sejarah Filsafat Islam, (Yogyakarta: Kanisius, 1986). Hal, 32.

[30] Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, (Jakarta: Triputa Massa, 1984). Hal, 91.

[31] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986). Hal, 181-183.

Leave a comment